PREFIKS PEMBENTUK VERBA PADA BAHASA INDONESIA DAN BAHASA MELAYU MANADO ANALISIS KONTRASTIF OLEH STEFANIE HUMENA
BAB
1 PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Bahasa
pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan
bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris
(Kaelan, 2009:6). Artinya, bahasa adalah sistem simbol yang memiliki makna,
yang dijadikan alat berkomunikasi untuk menuangkan emosi, serta
pengejahwantahan pikiran dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mencari
hakikat kebenaran.
Dalam
kehidupan manusia, bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja,
melainkan juga sebagai alat pengantar proses berpikir seseorang dalam usaha
memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Berdasarkan
pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa bahasa selain memiliki fungsi
komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif, dan emotif (Kaelan, 2009:14).
Sebagai
sebuah sistem, bahasa terdiri atas beberapa unsur atau tataran yang membentuk sebuah
konstruksi yang utuh. Unsur-unsur tersebut ialah bunyi atau fonem, morfem,
kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
Selanjutnya,
unsur-unsur tersebut dapat dikaji melalui cabang-cabang linguistik yang telah
tersedia sesuai dengan unsur-unsur tersebut. Misalnya, fonologi yang
mempelajari mengenai sistem bunyi suatu bahasa, atau morfologi yang
mempermasalahkan tentang kata dan bagaimana proses pembentukannya, selanjutnya
ada kajian tentang kalimat oleh sintaksis, makna oleh semantik, pragmatik dst.
Ilmu
yang mempelajari tentang unsur-unsur bahasa seperti disebut di atas dikenal
dengan istilah linguistik struktural, atau linguistik mikro; sedangkan
sosiolinguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, linguistik terapan, dll.
disebut linguistik pascastruktural atau linguistik makro.
Instrumen-instrumen
pengkaji bahasa tersebut tentunya dapat menjadi alat untuk menelaah lebih jauh
mengenai bahasa apapun, dan bahasa di manapun, termasuk Indonesia sebagai negara
kepulauan yang memiliki ragam budaya dan bahasa, salah satunya adalah bahasa
Melayu Manado (BMM) yang digunakan di Sulawesi Utara. BMM digunakan sebagai lingua franca oleh warga Manado yang
multi etnis. Pada penggunaannya BMM berdampingan dengan bahasa Indonesia (BI)
sebagai bahasa nasional tanpa mengenyampingkan bahasa-bahasa asli yang berada
di Manado seperti bahasa Minahasa, Sangir, Ponosakan, dll.
Kenyataannya,
BMM merupakan salah satu ragam atau bahasa substandar atau dialek (lih.
Chambers dan Trudgill 1990:6) dari BI yang berasal dari bahasa Melayu. Namun
demikian, penggunaan BI pada situasi formal acap kali mengalami interferensi
dari BMM sebagai bahasa Ibu sebagian besar warga Manado, artinya meskipun
kedudukannya hanya sebagai bahasa substandard dari BI, sistem pada BMM sudah
memperlihatkan perbedaan sehingga mudah untuk mengetahui apabila seorang
penutur BMM yang dalam situasi formal menggunakan BI mengalami interferensi.
Interferensi
BMM yang sering terjadi dalam penggunaan BI pada penutur BMM adalah kekeliruan
dalam penggunaan afiks, meskipun interferensi tersebut mungkin hanya sekedar
permasalahan bunyi yang dapat dijelaskan secara diakronis, misalnya prefiks
{meN-} pada kata {meN-tuntut} menuntut
sering direalisasikan dengan bentuk manuntut
{maN-tuntut}. Dapat dilihat dari contoh tersebut bahwa terjadi penurunan
fonem vokal /e/ pada BI menjadi /a/ pada BMM. Selain itu, bentuk dasar yang
dibubuhi konfiks {ke-an} yang menyatakan makna adversatif pasif pada BI seperti
{ke-jatuh-an} kejatuhan menjadi
{ta-jatuŋ-akaŋ} tajatungakang dalam
BMM.
Masalah
di atas menjadi dasar penelitian pada tulisan ini, oleh karenanya, makalah ini setidaknya
akan mendeskripsikan perbedaaan dan persamaan bentuk afiks dalam BI dan BMM, namun
masalahnya dibatasi pada prefiks pembentuk verba.
Hasil
tersebut selanjutnya akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun
praktis. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah koleksi khazanah ilmu
linguistik kontrastif terutama dalam bidang morfologi khususnya afiksasi dalam
BI dan BMM; sementara itu, secara praktis penelitian ini dapat memberikan
memberikan pedoman penggunaan afiksasi BI yang benar bagi penutur BMM.
1.2 TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai linguistik kontrastif
telah banyak dilakukan, mulai dari tataran afiks, leksikon, sintaksis, hingga
pada tingkat tutur masyarakat. Seperti yang diteliti oleh Krishandini (2011),
dalam hasil penelitiannya yang berjudul Analisis
Kontrastif Verba bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia yang menyimpulkan
bahwa, afiks bahasa Jawa mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan jika
dibandingkan dengan afiks bahasa Indonesia. Persamaan dan perbedaan itu
meliputi dua aspek, yaitu adanya kesejajaran bentuk afiks verba dan bentuk
dasar yang dilekati oleh afiks tersebut.
Sejalan dengan
pendapat tersebut, Kasno
Atmo Sukarto (tt) dalam tulisannya yang berjudul Analisis Kontrastif Sistem Morfemis Nomina Bahasa
Jawa-Indonesia menambahkan
bahwa bentuk dasar yang dapat dilekati oleh
nomina itu adalah verba, nomina, adjektiva, adverbia, dan pokok kata
(praktegorial). Sedangkan perbedaannya terdapat dalam proses morfofonemik,
yakni adanya kekhasan sistem penggabungan bunyi vokal dalam bahasa Jawa yang
tidak terjadi pada bahasa Indonesia.
Purwaningsi (2011) dalam tulisannya Perbandingan Verba Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, menyatakan
bahwa BI memiliki pemarkah verba pasif yang
dinyatakan oleh prefiks {di-}, {ter-} dan konfiks {ke-an} sementara dalam
bahasa Jawa dinyatakan dengan {di-}, {dak-}, {kok-}/{ke-}.
Masih pada tataran kalimat, Darheni (2010) pada tulisannya yang
berjudul Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia
Dan Bahasa Sunda : Tinjauan Morfosintaksis yang dimuat dalam jurnal Sosioteknologi Edisi 19 April 2010. Dalam
bahasa Indonesia terdapat tiga tipe klausa/kalimat pasif, yaitu (1) tipe
kanonis, (2) tipe pengedepanan objek, dan (3) tipe bentuk lain; sedangkan dalam
bahasa Sunda hanya ada dua tipe, yaitu (1) tipe pasif kanonis dan (2) tipe
pasif lain. Pasif pengedepanan objek tidak terdapat dalam bahasa Sunda. Klausa
pasif bahasa Indonesia yang terbentuk pengedepanan objek akan selalu menjadi
pasif kanonis dalam bahasa Sunda. Selain itu, pelengkap dalam kalimat pasif
bahasa Indonesia terletak di belakang predikat; sedangkan dalam bahasa Sunda
pelengkap bersifat dinamis. Tipe kalimat pasif kanonis bahasa Indonesia adalah
(1) S-P-Pel dan (2) S-P-Pel-K. Dalam bahasa Sunda tipe pertama itu memiliki
variasi, yakni S-P-Pel dan S-P-Pel-K. Dalam bahasa Sunda tipe pertama itu
mempunyai variasi, yaitu S-P-Pel, S-Pel-P, dan Pel-S-P, sedangkan tipe kedua
mempunyai variasi S-P-Pel-K, S-Pel-P-K dan Pel-S-P-K. Sementara, verba pasif
berafiks ka- dan/atau ti- dalam bahasa Sunda sepadan maknanya
dengan verba pasif berafiks ter- dalam bahasa Indonesia.
BI dari segi reduplikasi juga pernah dikajikontraskan dengan
bahasa Jepang oleh Ferawati (2013) dalam tulisannya yang berjudul Analisis
Kontrastif Reduplikasi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Menurutnya, reduplikasi
pada bahasa Jepang dibagi menjadi dua, yaitu kanzeen juufuku dan
fukanzeen juufuku. Kazen jufuku dibagi menjadi dua, yaitu hirendakujuufuku dan rendaku
juufuku; Sedangkan reduplikasi
pada bahasa Indonesia dibagi menjadi empat, yakni pengulangan seluruh,
pengulangan sebagian, pengulanagan berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan
dengan perubahan fonem.
Dari segi urutan kata, BI juga pernah dikaji dengan
mengontraskannya dengan bahasa Perancis, seperti yang diteliti oleh Firmonasari
(2002) dalam tesisnya yang berjudul Urutan
Kata Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia. Adapun pengkajian dalam tulisan
tersebut menyangkut frasa nomina, dan urutan verba objek pada kedua bahasa
tersebut.
Untuk bahasa Melayu Manado sendiri penelitian mengenai afiksasi
pernah dilakukan oleh J.A. Karisoh dkk (1981) dalam laporan penelitian mereka
yang berjudul Morfologi dan Sintaksis
Bahasa Melayu Manado. Namun demikian, penelitian ini bukanlah sebuah
penelitian kontrastif.
Selain penelitian-penelitian yang diuraikan di atas, masih banyak
penelitian sejenis yang mengkaji mengenai afiks, reduplikasi, kalimat dst. pada
bidang kontrastif. Namun begitu, kajian kontrastif terhadap bahasa Indonesia (BI)
dengan bahasa Melayu Manado (BMM) terbilang masih baru karena belum pernah
diteliti sebelumya. Oleh karenanya, penelitian mengenai afiks khususnya prefiks
pembentuk verba pada BI dan BMM perlu direalisasikan.
1.3 LANDASAN TEORI
Landasan teori penelitian ini menggunakan konsep struktur inheren
bahasa, yakni konsep morfofonemik dan afiksasi. Morfofonemik mempelajari
tentang perubahan fonem yang terjadi akibat penggabungan antara morfem yang
satu dengan morfem yang lain; sedangkan afiks berbicara mengenai masalah
pembentukan kata dengan cara pembubuhan imbuhan.
Menurut Ramlan, (1997:83) ada tiga macam proses morfofonemik dalam
bahasa Indonesia, yaitu proses perubahan fonem, penambahan fonem, dan
penghilangan fonem. Proses perubahan fonem terjadi sebagai akibat dari
pertemuan antara morfem terikat dan morfem bebas, misalnya morfem {meN-} akan
mengalami perubahan menjadi {meny-} jika digabungkan dengan morfem bebas bentuk
dasar yang berawalan bunyi /s/, contoh {meN-} + {sukseskan} > mənyukseskan. Contoh tersebut memperlihatkan perubahan
bunyi /-N-/ > /-ñ/ untuk menyesuaikan dengan fonem
bentuk pertama /s/.
Proses
penambahan fonem terjadi sebagai akibat pertemuan antara morfem terikat {meN}
dengan bentuk dasar yang terdiri dari satu suku kata, misalnya {meN-} + {bom}
> məngebom. Sementara itu, proses
penghilangan fonem terjadi ketika morfem {meN-} bergabung dengan kata dasar
yang berbunyi awal /i-/, /r-/, /y-/, /w-/, misalnya {meN-} + {lacak} > məlacak, {meN-} + {rona} > mərona.
Menurut Kridalaksana
(1992), proses morfofonemik secara garis besar terjadi dengan proses
morfofonemik yang otomatis dan proses morfofonemik yang tidak otomatis. Proses
morfofonemik yang otomatis itu terdiri atas (1) pemunculan fonem, (2)
pengekalan fonem, (3) pemunculan dan pengekalan fonem, (4) pergeseran fonem (5)
perubahan dan pergeseran fonem, (6) pelesapan fonem, dan (7) peluluhan fonem;
sedangkan proses morfofonemik yang tidak otomatis terdiri atas tiga jenis saja,
yakni: (1) penyisipan fonem secara historis, (2) pemunculan fonem berdasarkan
pola bahasa asing, dan (3) variasi fonem bahasa sumber.
Adapun afiksasi
merupakan proses pembentukan kata melalui penggabungan antara morfem terikat
dan morfem bebas. Chaer (2003: 177) mendefinisakan afikasi sebagai proses
pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Proses tersebut
melibatkan tiga unsur yakni bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang
dihasilkan. Dalam BI, Chaer membagi afiks menjadi empat bagian, yakni awalan,
akhiran, sisipan, dan imbuhan.
Ramlan (1997:60), sejalan dengan pendapat Chaer yang mengemukakan
bahwa afiks dalam BI digolongkan menjadi empat, yaitu prefiks, infiks, sufiks,
dan simulfiks. Dalam penelitian ini, konsep afiks yang akan dibahas dihkususkan
pada prefiks yang membentuk kategori verba.
1.4 METODE PENELITIAN
Penelitian
ini didasarkan pada teori analisis kontrastif yang berupa prosedur kerja untuk
membandingkan struktur B1 dan B2 untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan
bahasa (Tarigan, 2002:5). Adapun B1
dalam penelitian ini merupakan BMM dan B2 adalah BI yang menjadi bahasa-bahasa
yang diperbandingkan.
Adapun
populasi dari penelitian ini yaitu morfem-morfem yang berafiks verba, sedangkan
sampelnya diambil dari percakapan-percakapan tertulis dari cerita-cerita lucu Manado
yang ada di internet.
Metode
dan teknik dalam penelitian ini dibagi dalam tiga langkah, sama halnya denga
yang disarankan oleh Sudaryanto (1993:5-8), yaitu (i) metode penyediaan data,
(ii) metode dan teknik analisis data, dan (iii) metode dan teknik penyajian
data.
Metode
penyediaan data merupakan
upaya penulis menyediakan data secukupnya. Data yang dimaksud adalah bahan
penelitian, atau lebih tepatnya bahan jadi penelitian.
Pada penyediaan data peneliti berusaha menyediakan
data secukupnya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang dikumpulkan
merupakan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu morfem-morfem
verba dan nomina yang terdapat dalam percakapan tertulis cerita-cerita lucu
Manado di internet. Data yang
demikian itu, subtansinya dipandang berkualifikasi valid atau sahih dan riable
atau terandal. Upaya penyediaan data ini dilakukan sepenuhnya untuk kebutuhan
analisis (Sudaryanto, 2001:5).
Metode analisis data merupakan
tahap puncak dari segala penelitian. Semua tahap yang ada terikat pada tahap
ini. Hal ini wajar karena tahap inilah yang menentukan dapat atau tidaknya
sebuah kaidah yang menjadi sumber sekaligus titik tolak sasaran dari objek
penelitian.
Tahap ini tampak tindakan dari penulis dalam mengamati
yang segera diikuti dengan membedah atau mengurai dan memburaikan masalah yang
bersangkutan (Sudaryanto, 2001:6).
Analisis data dilakukan
dengan metode agih, yaitu metode yang alat penentunya berada pada bahasa yang
bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Adapun metode ini memiliki teknik dasar dan
teknik lanjutan yang terbagi atas beberapa jenis. Dalam penelitian ini,
peneliti cukup dengan menggunakan teknik dasar bagi unsur langsung
atau teknik BUL. Teknik BUL dilakukan dengan cara membagi langsung satuan
lingual menjadi beberapa bagian atau unsur.
Dari
teknik tersebut, akan ditemukan afiks yang dicari yakni afiks pembentuk kata
kerja atau verba pada kedua bahasa yakni BI dan BMM, dan kemudian unsur
tersebut diperbandingkan perbedaan dan persamaan bentuknya.
Setelah analisis data
dilakukan maka akan melahirkan suatu kaidah. Kaidah itu harus ditulis untuk
kemudian dimasyarakatkan. Penulisan hasil analisis data mempersyaratkan adanya
kelayakan baca. Tahap ini merupakan upaya penulis menampilkan dalam wujud
“laporan” tertulis apa-apa yang telah dihasilkan dari kerja analisis, khususnya
kaidah (Sudaryanto, 2001:7).
Adapun hasil yang ditemukan
disajikan dalam bentuk informal atau verbal dan formal atau visual. Penyajian
data informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).
Dalam penyajian ini, rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan
menggunakan kata-kata biasa yang ketika dibaca dapat langsung dipahami (Kesuma,
2007b:71). Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan kaidah berupa rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar. Oleh karena
penelitian ini bersifat deskriptif, maka hasil penelitian akan disajikan secara
informal.
BAB
2 PEMBAHASAN
Bahasa
Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu memiliki banyak dialek, salah satunya
adalah bahasa Melayu Manado atau BMM yang dituturkan oleh masyarakat di
provinsi Sulawesi utara. Sebagai dialek, BMM memperlihatkan kekhasannya dalam
hal leksikon, dan juga proses morfologis, seperti afiks yang berbeda bentuk
dengan BI khususnya afiks verba.
Untuk
memperlihatkan seberapa jauh perbedaan antara BI dan BMM berikuta akan
dideskripsikan terlebih dahulu prefiks yang terdapat pada BI.
Bentuk
ber-, MeN-, ter, di, dan per adalah prefiks atau awalan dalam
bahasa Indonesia (Hasan Alwi dkk, 1998). Selanjutnya, bentuk- bentuk tersebut
direalisasikan dengan bentuk-bentuk turunan atau dengan bentuk alomorf
tergantung bunyi awal kata dasar yang dilekati, perubahan bentuk tersebut
dikenal dengan proses morfofonemik. Perhatikan
tabel di bawah ini:
No.
|
Bahasa
Indonesia
|
|
Prefiks
|
Contoh
|
|
1
|
meN-
|
|
meŋ-
a,
i,
u,
e,
o,
k,
g,
h
|
mengatur,
mengikat,
mengukur, mengelakakan, mengolah,
mengacaukan
menggarap, mengharap.
|
|
me-
l,
m,
n,
ñ,
ŋ,
r,
y,
w
|
melatih,
memakan,
menamai,
menyatakan,
menganga,
merancang,
meyakinkan,
mewakili.
|
|
men-
d
t
j
c
|
mendata,
menari,
menjual,
mencuci
|
|
mem-
b
p
f
|
membahas,
memukul,
memfokuskan.
|
|
meñ-
(s)
|
menyosialisasikan
menyabung
|
|
meŋe-
(satu suku kata)
|
mengebom,
mengetik.
|
|
2
|
per-
|
|
pe-
(r, dasar dengan suku pertama berakhir dengan bunyi /ər/)
|
peruncing,
pekerjakan.
|
|
pel-
(ajari)
|
pelajari
|
|
per-
(selain dua kaidah di atas)
|
perdalam,
perpanjang, perluas, dll.
|
|
3
|
ber-
|
|
be-
(r, dasar dengan suku pertama berakhir dengan bunyi /ər/)
|
beranting,
berantai,
berduri
|
|
bel-
(ajar, unjur)
|
belajar,
belunjur
|
|
ber
(selain kaidah di atas)
|
berkemah,
berteman,
berbicara,
dll.
|
|
4
|
ter-
|
|
te-
(r)
|
terencana,
terebut,
terambil
|
|
ter-
(jika suku pertama berakhir dengan /ər/, ada /r/ pada ter- yang muncul dan
ada yang tidak
|
terpercaya,
tercermin,
tepercik
|
|
ter-
(selain kaidah di atas)
|
termasuk,
terpilih,
terbawa,
terluka
|
|
5.
|
di-
|
disesuasikan,
dimasukkan, dibuat
|
Dari tabel di atas dapat kita simpulkan
bahwa, prefiks {meN-} menjadi {meŋ-} apabila diikuti oleh bentuk bentuk dasar
yang berawalan bunyi /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /k/, /g/, dan /h/; menjadi
{me-}jika diikuti bentuk dasar berawalan bunyi /l/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /y/, /w/; menjadi {men-} jika diikuti oleh bentuk dasar berbunyi awal /d/, /t/, /j/, /c/; menjadi {mem-} jika diikuti bentuk dasar dengan bunyi awal /b/, /p/, /f/; menjadi {meñ-} jika diikuti bentuk dasar berwalan bunyi /s/; dan menjadi {meŋe}jika bentuk dasarnya hanya terdiri dari satu suku kata.
{me-}jika diikuti bentuk dasar berawalan bunyi /l/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /y/, /w/; menjadi {men-} jika diikuti oleh bentuk dasar berbunyi awal /d/, /t/, /j/, /c/; menjadi {mem-} jika diikuti bentuk dasar dengan bunyi awal /b/, /p/, /f/; menjadi {meñ-} jika diikuti bentuk dasar berwalan bunyi /s/; dan menjadi {meŋe}jika bentuk dasarnya hanya terdiri dari satu suku kata.
Prefiks {per-} menjadi
{pe} jika bentuk dasar yang mengikuti diawali dengan buny /r/ dan menjadi
{pel-} jika ditambahkan pada bentuk dasar {ajar}, di luar kedua kaidah
tersebut, prefiks {per-} tidak mengalami perubahan.
Prefiks {ber-} berubah
menjadi {be-} jika diikuti oleh bentuk dasar denga bunyi awal /r/ dan dasar
dengan suku awal berakhir dengan bunyi /er/; menjadi {bel-} jika diikuti dengan
dasar {ajar} dan {unjur}.
Prefiks {ter} berubah
menjadi {te-} jika diikuti dasar dengan bunyi awal /r/ dan suku awal berakhir
dengan bunyi /er/; namun demikian, /r/ pada {ter} terkadang dapat muncul bisa
juga tidak.
Terakhir ada prefiks
{di-}. Prefiks ini biasanya mencul sebagai pengganti prefiks {meN-} jika
kalimat aktif dipasifkan.
Untuk melihat perbedaan
antara BI dan BMM coba perhatikan tabel perbandingan antara perifks BI yang
dicarikan padanannya dalam BMM.
Data Afiks Verba Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu
Manado
No.
|
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Melayu Manado
|
||
Prefiks
|
Contoh
|
Prefiks
|
Contoh
|
|
1
|
meN-
|
|
|
|
|
meŋ-
a,
i,
u,
e,
o,
k,
g,
h
|
mengatur,
mengikat,
mengukur, mengelakakan, mengolah,
mengacaukan
menggarap, mengharap.
|
ba-
ba-
ba-
ba-
ba-
ba-
ba-
|
baator
baika
baukur
baolah
bakacau
bagarap
baharap
|
|
me-
l,
m,
n,
ñ,
ŋ,
r,
y,
w
|
melatih,
memakan,
menamai,
menyatakan,
menganga,
merancang,
meyakinkan,
mewakili.
|
ba-,
ba,
ma-
ba-
ba-
|
balatih
bamakang
manganga
barancang
bawakil
|
|
men-
d
t
j
c
|
mendata,
menari,
menjual,
mencari
|
ba-
man-
ba-
man-
|
badata
manari
bajual
mancari
|
|
mem-
b
p
f
|
membahas,
memukul,
memfokuskan.
|
ba-
ba-
ba-//akang
|
babahas
bapukul
bafokus akang
|
|
meñ-
(s)
|
menyosialisasikan
menyabung
|
ba-
many-
|
basosialisasi
manyabung
|
|
meŋe-
(satu suku kata)
|
mengebom,
mengetik.
|
ba-
ba-
|
babom
baketik
|
2
|
per-
|
|
|
|
|
pe-
(r, dasar dengan suku pertama berakhir akhir /ər/)
|
peruncing,
pekerjakan.
|
se-
se-//akang
|
seruncing
sekerja akang
|
|
pe-
(ajari)
|
pelajari
|
|
|
|
per-
(selain dua kaidah di atas)
|
perdalam,
perpanjang, perluas, dll.
|
|
|
3
|
ber-
|
|
|
|
|
be-
(r, dasar dengan suku pertama berakhir /ər/)
|
beranting,
berantai,
berduri
|
ba-
ba-
ba-
|
baranting
barante
baduri
|
|
bel-
(ajar, unjur)
|
belajar,
belunjur
|
ba-
|
balajar
|
|
ber
(selain kaidah di atas)
|
berkemah,
berteman,
berbicara,
dll.
|
ba-
ba-
|
batamang
babicara
|
4
|
ter-
|
|
|
|
|
te-
(r)
|
terencana,
terebut,
terambil
|
ta-
ta-
ta-
|
tarencana
tarebut
taambe
|
|
ter-
(jika suku pertama berakhir dengan /ər/, ada /r/ pada ter- yang muncul dan
ada yang tidak
|
terpercaya,
tercermin,
tepercik
|
ta-
ta-
|
tapercik
|
|
ter-
(selain kaidah di atas)
|
termasuk,
terpilih,
terbawa,
terluka
|
ta-
ta-
ta-
ta-
|
tamaso
tapilih
tabaawa
taluka
|
5.
|
di-
|
disesuasikan,
dimasukkan, dibuat
|
da-
dase-
|
dasesuaikan, dasemaso
|
Tabel
di atas, memperlihatkan bahwa:
1. Prefiks meN- yang menjadi meŋ- pada dasar yang diawali bunyi /i/,/u/,/e/,/o/,/k/,/g/,/h/
dalam BI menjadi ba- dalam BMM.
2. Prefiks
meN- yang menjadi me- pada dasar yang
diawali bunyi /l/,/r/,/m/,/w/ dalam BI menjadi ba- dalam BMM; sementara yang diawali bunyi ŋ menjadi ma-.
3. Prefiks
meN- yang menjadi men- pada dasar
yang diawali bunyi /d/ dan /j/ menjadi ba-
dalam BMM sekaligus meluluhkan bunyi /t/ kedalam bunyi /n/; dalalam prefiks
man-.
4. Prefiks
meN- yang menjadi mem- pada dasar
yang diawali bunyi /b/,/p/,/f/ menjadi ba-
dalam BMM.
5. Prefiks
meN- yang menjadi meñ- pada dasar yang diawali bunyi /s/ bisa tampil dalam
bentuk ba- dan many-.
6. Prefiks meN- yang menjadi meŋe- pada dasar yang bersuku kata satu menjadi ba- pada BMM.
7. Prefiks per- pada BI menjadi se- pada BMM. Untuk beberapa kasus harus ditambah unsur akang di belakang kata dasar.
8. Prefiks ber- dalam BI menjadi ba- pada BMM.
9. Prefiks ter- dalam BI menjadi ta- pada BMM.
10. Prefiks di- bisa menjadi da- dan dase-
3. PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara prefiks verba BI
dan BMM. Perbedaannya terdapat pada afiks {meN-} yang mengalami subtitusi
menjadi
{ba-}pada BMM; perfiks {per-} menjadi {se-}; perfiks {ber-} menjadi {ba-}, prefiks {ter-} menjad {ta-}, dan prefiks {di} menjadi (da-} dan {dase}; sedangkan persamaannya terdapat pada leksikon dasar dan makna inheren yang dikandung di dalamnya.
{ba-}pada BMM; perfiks {per-} menjadi {se-}; perfiks {ber-} menjadi {ba-}, prefiks {ter-} menjad {ta-}, dan prefiks {di} menjadi (da-} dan {dase}; sedangkan persamaannya terdapat pada leksikon dasar dan makna inheren yang dikandung di dalamnya.
3.2 SARAN
Penelitian
ini merupakan tinjauan awal, analisis yang dilakukan baru sebatas pada padanan
kata, belum dikaji secara mendalam mengenai konteks kalimat di mana prefiks
pembentuk verba itu digunakan. Oleh karenanya, penelitian selanjutnya
diharapkan dapat mengoreksi serta melakukan pendalaman yang lebih mendetail
mengenai penggunaannya prefiks pembentuk verba dalam konteks kalimat.
DAFTAR
PUSTAKA
Alwi, Hasan., Soenjono Dardjowidjojo.,
Hans Lapoliwa., Anton M. Moeliono. 1998. Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chambers,
J.K., Trudgill, Peter. 1990. Dialektologi.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Darheni. (2010). Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia
Dan Bahasa Sunda : Tinjauan Morfosintaksis dalam jurnal Sosioteknologi Edisi 19 April 2010.
Ferawati, Lilis. 2013 Analisis Kontrastif Reduplikasi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Universitas
Brawijaya.
Firmonasari 2002. Urutan Kata Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Kaelan.
(2009). Filsafat Bahasa Semiotika dan
Hermeneutika. Yogyakarta: “Paradigma” Yogyakarta.
Kesuma,
Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar
(Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvati Books.
Kridalaksana, H. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Krishandini.
2011.Analisis Kontrastif Afiksasi Verba
Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia (Hasil Penelitian). Institut Pertanian
Bogor.
Purwaningsi. 2011. Perbandingan Verba Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.
Universitas Sebelas Maret.
Ramlan, M. 1997. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif.
Yogyakarta: CV Karyono.
Sarosa,,
Teguh. 2005. Proses Morfofonemik Afiksasi
dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sudarno.
1992. Perbandingan Bahasa Nusantara.
Jakarta: Arikha Media Cipta
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana
Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Sukarto,
Kasno Atmo. (tt) Analisis Kontrastif
Sistem Morfemis Nomina Bahasa Jawa-Indonesia dalam http://ebookbrowsee.net/download-php-file-analisis-kontrastif-sistem-morfemis-nomina-bhs-jawaindonesia-pdf-d352559027
Tarigan, Henry Guntur. 1992. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung
Angkasa.
------------------------. 1988. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.
Verhaar,
J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.