Sabtu, 19 Juli 2014

PREFIKS PEMBENTUK VERBA PADA BAHASA INDONESIA DAN BAHASA MELAYU MANADO ANALISIS KONTRASTIF OLEH STEFANIE HUMENA


BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu sistem simbol yang tidak hanya merupakan urutan bunyi-bunyi secara empiris, melainkan memiliki makna yang sifatnya nonempiris (Kaelan, 2009:6). Artinya, bahasa adalah sistem simbol yang memiliki makna, yang dijadikan alat berkomunikasi untuk menuangkan emosi, serta pengejahwantahan pikiran dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mencari hakikat kebenaran.
Dalam kehidupan manusia, bahasa bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai alat pengantar proses berpikir seseorang dalam usaha memahami dunia luar, baik secara objektif maupun secara imajinatif. Berdasarkan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa bahasa selain memiliki fungsi komunikatif, juga memiliki fungsi kognitif, dan emotif (Kaelan, 2009:14).
Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri atas beberapa unsur atau tataran yang membentuk sebuah konstruksi yang utuh. Unsur-unsur tersebut ialah bunyi atau fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana.
Selanjutnya, unsur-unsur tersebut dapat dikaji melalui cabang-cabang linguistik yang telah tersedia sesuai dengan unsur-unsur tersebut. Misalnya, fonologi yang mempelajari mengenai sistem bunyi suatu bahasa, atau morfologi yang mempermasalahkan tentang kata dan bagaimana proses pembentukannya, selanjutnya ada kajian tentang kalimat oleh sintaksis, makna oleh semantik, pragmatik dst.
Ilmu yang mempelajari tentang unsur-unsur bahasa seperti disebut di atas dikenal dengan istilah linguistik struktural, atau linguistik mikro; sedangkan sosiolinguistik, etnolinguistik, psikolinguistik, linguistik terapan, dll. disebut linguistik pascastruktural atau linguistik makro.
Instrumen-instrumen pengkaji bahasa tersebut tentunya dapat menjadi alat untuk menelaah lebih jauh mengenai bahasa apapun, dan bahasa di manapun, termasuk Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki ragam budaya dan bahasa, salah satunya adalah bahasa Melayu Manado (BMM) yang digunakan di Sulawesi Utara. BMM digunakan sebagai lingua franca oleh warga Manado yang multi etnis. Pada penggunaannya BMM berdampingan dengan bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional tanpa mengenyampingkan bahasa-bahasa asli yang berada di Manado seperti bahasa Minahasa, Sangir, Ponosakan, dll.
Kenyataannya, BMM merupakan salah satu ragam atau bahasa substandar atau dialek (lih. Chambers dan Trudgill 1990:6) dari BI yang berasal dari bahasa Melayu. Namun demikian, penggunaan BI pada situasi formal acap kali mengalami interferensi dari BMM sebagai bahasa Ibu sebagian besar warga Manado, artinya meskipun kedudukannya hanya sebagai bahasa substandard dari BI, sistem pada BMM sudah memperlihatkan perbedaan sehingga mudah untuk mengetahui apabila seorang penutur BMM yang dalam situasi formal menggunakan BI mengalami interferensi.
Interferensi BMM yang sering terjadi dalam penggunaan BI pada penutur BMM adalah kekeliruan dalam penggunaan afiks, meskipun interferensi tersebut mungkin hanya sekedar permasalahan bunyi yang dapat dijelaskan secara diakronis, misalnya prefiks {meN-} pada kata {meN-tuntut} menuntut sering direalisasikan dengan bentuk manuntut {maN-tuntut}. Dapat dilihat dari contoh tersebut bahwa terjadi penurunan fonem vokal /e/ pada BI menjadi /a/ pada BMM. Selain itu, bentuk dasar yang dibubuhi konfiks {ke-an} yang menyatakan makna adversatif pasif pada BI seperti {ke-jatuh-an} kejatuhan menjadi {ta-jatuŋ-akaŋ} tajatungakang dalam BMM.
Masalah di atas menjadi dasar penelitian pada tulisan ini, oleh karenanya, makalah ini setidaknya akan mendeskripsikan perbedaaan dan persamaan  bentuk afiks dalam BI dan BMM, namun masalahnya dibatasi pada prefiks pembentuk verba.
Hasil tersebut selanjutnya akan memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian ini dapat menambah koleksi khazanah ilmu linguistik kontrastif terutama dalam bidang morfologi khususnya afiksasi dalam BI dan BMM; sementara itu, secara praktis penelitian ini dapat memberikan memberikan pedoman penggunaan afiksasi BI yang benar bagi penutur BMM.

1.2 TINJAUAN PUSTAKA
 Penelitian mengenai linguistik kontrastif telah banyak dilakukan, mulai dari tataran afiks, leksikon, sintaksis, hingga pada tingkat tutur masyarakat. Seperti yang diteliti oleh Krishandini (2011), dalam hasil penelitiannya yang berjudul Analisis Kontrastif Verba bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia yang menyimpulkan bahwa, afiks bahasa Jawa mempunyai beberapa kesamaan dan perbedaan jika dibandingkan dengan afiks bahasa Indonesia. Persamaan dan perbedaan itu meliputi dua aspek, yaitu adanya kesejajaran bentuk afiks verba dan bentuk dasar yang dilekati oleh afiks tersebut.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Kasno Atmo Sukarto (tt) dalam tulisannya yang berjudul Analisis Kontrastif Sistem Morfemis Nomina Bahasa Jawa-Indonesia menambahkan bahwa bentuk dasar yang dapat dilekati oleh nomina itu adalah verba, nomina, adjektiva, adverbia, dan pokok kata (praktegorial). Sedangkan perbedaannya terdapat dalam proses morfofonemik, yakni adanya kekhasan sistem penggabungan bunyi vokal dalam bahasa Jawa yang tidak terjadi pada bahasa Indonesia.
Purwaningsi (2011) dalam tulisannya Perbandingan Verba Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa, menyatakan bahwa  BI memiliki pemarkah verba pasif yang dinyatakan oleh prefiks {di-}, {ter-} dan konfiks {ke-an} sementara dalam bahasa Jawa dinyatakan dengan {di-}, {dak-}, {kok-}/{ke-}.
Masih pada tataran kalimat, Darheni (2010) pada tulisannya yang berjudul Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia Dan Bahasa Sunda : Tinjauan Morfosintaksis yang dimuat dalam jurnal Sosioteknologi Edisi 19 April 2010. Dalam bahasa Indonesia terdapat tiga tipe klausa/kalimat pasif, yaitu (1) tipe kanonis, (2) tipe pengedepanan objek, dan (3) tipe bentuk lain; sedangkan dalam bahasa Sunda hanya ada dua tipe, yaitu (1) tipe pasif kanonis dan (2) tipe pasif lain. Pasif pengedepanan objek tidak terdapat dalam bahasa Sunda. Klausa pasif bahasa Indonesia yang terbentuk pengedepanan objek akan selalu menjadi pasif kanonis dalam bahasa Sunda. Selain itu, pelengkap dalam kalimat pasif bahasa Indonesia terletak di belakang predikat; sedangkan dalam bahasa Sunda pelengkap bersifat dinamis. Tipe kalimat pasif kanonis bahasa Indonesia adalah (1) S-P-Pel dan (2) S-P-Pel-K. Dalam bahasa Sunda tipe pertama itu memiliki variasi, yakni S-P-Pel dan S-P-Pel-K. Dalam bahasa Sunda tipe pertama itu mempunyai variasi, yaitu S-P-Pel, S-Pel-P, dan Pel-S-P, sedangkan tipe kedua mempunyai variasi S-P-Pel-K, S-Pel-P-K dan Pel-S-P-K. Sementara, verba pasif berafiks ka- dan/atau ti- dalam bahasa Sunda sepadan maknanya dengan verba pasif berafiks ter- dalam bahasa Indonesia.
BI dari segi reduplikasi juga pernah dikajikontraskan dengan bahasa Jepang oleh Ferawati (2013) dalam tulisannya yang berjudul Analisis Kontrastif Reduplikasi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Menurutnya, reduplikasi pada bahasa Jepang dibagi menjadi dua, yaitu kanzeen juufuku dan fukanzeen juufuku. Kazen jufuku dibagi menjadi dua, yaitu hirendakujuufuku dan rendaku juufuku; Sedangkan reduplikasi pada bahasa Indonesia dibagi menjadi empat, yakni pengulangan seluruh, pengulangan sebagian, pengulanagan berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem.
Dari segi urutan kata, BI juga pernah dikaji dengan mengontraskannya dengan bahasa Perancis, seperti yang diteliti oleh Firmonasari (2002) dalam tesisnya yang berjudul Urutan Kata Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia. Adapun pengkajian dalam tulisan tersebut menyangkut frasa nomina, dan urutan verba objek pada kedua bahasa tersebut.
Untuk bahasa Melayu Manado sendiri penelitian mengenai afiksasi pernah dilakukan oleh J.A. Karisoh dkk (1981) dalam laporan penelitian mereka yang berjudul Morfologi dan Sintaksis Bahasa Melayu Manado. Namun demikian, penelitian ini bukanlah sebuah penelitian kontrastif.
Selain penelitian-penelitian yang diuraikan di atas, masih banyak penelitian sejenis yang mengkaji mengenai afiks, reduplikasi, kalimat dst. pada bidang kontrastif. Namun begitu, kajian kontrastif terhadap bahasa Indonesia (BI) dengan bahasa Melayu Manado (BMM) terbilang masih baru karena belum pernah diteliti sebelumya. Oleh karenanya, penelitian mengenai afiks khususnya prefiks pembentuk verba pada BI dan BMM perlu direalisasikan.
1.3  LANDASAN TEORI
Landasan teori penelitian ini menggunakan konsep struktur inheren bahasa, yakni konsep morfofonemik dan afiksasi. Morfofonemik mempelajari tentang perubahan fonem yang terjadi akibat penggabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain; sedangkan afiks berbicara mengenai masalah pembentukan kata dengan cara pembubuhan imbuhan.
Menurut Ramlan, (1997:83) ada tiga macam proses morfofonemik dalam bahasa Indonesia, yaitu proses perubahan fonem, penambahan fonem, dan penghilangan fonem. Proses perubahan fonem terjadi sebagai akibat dari pertemuan antara morfem terikat dan morfem bebas, misalnya morfem {meN-} akan mengalami perubahan menjadi {meny-} jika digabungkan dengan morfem bebas bentuk dasar yang berawalan bunyi /s/, contoh {meN-} + {sukseskan} > mənyukseskan. Contoh tersebut memperlihatkan perubahan bunyi /-N-/ > /-ñ/ untuk menyesuaikan dengan fonem bentuk pertama /s/.
Proses penambahan fonem terjadi sebagai akibat pertemuan antara morfem terikat {meN} dengan bentuk dasar yang terdiri dari satu suku kata, misalnya {meN-} + {bom} > məngebom. Sementara itu, proses penghilangan fonem terjadi ketika morfem {meN-} bergabung dengan kata dasar yang berbunyi awal /i-/, /r-/, /y-/, /w-/, misalnya {meN-} + {lacak} > məlacak, {meN-} + {rona} > mərona.
Menurut Kridalaksana (1992), proses morfofonemik secara garis besar terjadi dengan proses morfofonemik yang otomatis dan proses morfofonemik yang tidak otomatis. Proses morfofonemik yang otomatis itu terdiri atas (1) pemunculan fonem, (2) pengekalan fonem, (3) pemunculan dan pengekalan fonem, (4) pergeseran fonem (5) perubahan dan pergeseran fonem, (6) pelesapan fonem, dan (7) peluluhan fonem; sedangkan proses morfofonemik yang tidak otomatis terdiri atas tiga jenis saja, yakni: (1) penyisipan fonem secara historis, (2) pemunculan fonem berdasarkan pola bahasa asing, dan (3) variasi fonem bahasa sumber.
Adapun afiksasi merupakan proses pembentukan kata melalui penggabungan antara morfem terikat dan morfem bebas. Chaer (2003: 177) mendefinisakan afikasi sebagai proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Proses tersebut melibatkan tiga unsur yakni bentuk dasar, afiks, dan makna gramatikal yang dihasilkan. Dalam BI, Chaer membagi afiks menjadi empat bagian, yakni awalan, akhiran, sisipan, dan imbuhan.
Ramlan (1997:60), sejalan dengan pendapat Chaer yang mengemukakan bahwa afiks dalam BI digolongkan menjadi empat, yaitu prefiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Dalam penelitian ini, konsep afiks yang akan dibahas dihkususkan pada prefiks yang membentuk kategori verba.

1.4  METODE PENELITIAN
Penelitian ini didasarkan pada teori analisis kontrastif yang berupa prosedur kerja untuk membandingkan struktur B1 dan B2 untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan bahasa (Tarigan, 2002:5).  Adapun B1 dalam penelitian ini merupakan BMM dan B2 adalah BI yang menjadi bahasa-bahasa yang diperbandingkan.
Adapun populasi dari penelitian ini yaitu morfem-morfem yang berafiks verba, sedangkan sampelnya diambil dari percakapan-percakapan tertulis dari cerita-cerita lucu Manado yang ada di internet.
Metode dan teknik dalam penelitian ini dibagi dalam tiga langkah, sama halnya denga yang disarankan oleh Sudaryanto (1993:5-8), yaitu (i) metode penyediaan data, (ii) metode dan teknik analisis data, dan (iii) metode dan teknik penyajian data.
Metode penyediaan data merupakan upaya penulis menyediakan data secukupnya. Data yang dimaksud adalah bahan penelitian, atau lebih tepatnya bahan jadi penelitian.
Pada penyediaan data peneliti berusaha menyediakan data secukupnya sesuai dengan kebutuhan penelitian. Data yang dikumpulkan merupakan data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu morfem-morfem verba dan nomina yang terdapat dalam percakapan tertulis cerita-cerita lucu Manado di internet. Data yang demikian itu, subtansinya dipandang berkualifikasi valid atau sahih dan riable atau terandal. Upaya penyediaan data ini dilakukan sepenuhnya untuk kebutuhan analisis (Sudaryanto, 2001:5).
 Metode analisis data merupakan tahap puncak dari segala penelitian. Semua tahap yang ada terikat pada tahap ini. Hal ini wajar karena tahap inilah yang menentukan dapat atau tidaknya sebuah kaidah yang menjadi sumber sekaligus titik tolak sasaran dari objek penelitian.
            Tahap ini tampak tindakan dari penulis dalam mengamati yang segera diikuti dengan membedah atau mengurai dan memburaikan masalah yang bersangkutan (Sudaryanto, 2001:6).
Analisis data dilakukan dengan metode agih, yaitu metode yang alat penentunya berada pada bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:15). Adapun metode ini memiliki teknik dasar dan teknik lanjutan yang terbagi atas beberapa jenis. Dalam penelitian ini, peneliti cukup dengan menggunakan teknik dasar bagi unsur langsung atau teknik BUL. Teknik BUL dilakukan dengan cara membagi langsung satuan lingual menjadi beberapa bagian atau unsur.
Dari teknik tersebut, akan ditemukan afiks yang dicari yakni afiks pembentuk kata kerja atau verba pada kedua bahasa yakni BI dan BMM, dan kemudian unsur tersebut diperbandingkan perbedaan dan persamaan bentuknya.
Setelah analisis data dilakukan maka akan melahirkan suatu kaidah. Kaidah itu harus ditulis untuk kemudian dimasyarakatkan. Penulisan hasil analisis data mempersyaratkan adanya kelayakan baca. Tahap ini merupakan upaya penulis menampilkan dalam wujud “laporan” tertulis apa-apa yang telah dihasilkan dari kerja analisis, khususnya kaidah (Sudaryanto, 2001:7).
Adapun hasil yang ditemukan disajikan dalam bentuk informal atau verbal dan formal atau visual. Penyajian data informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penyajian ini, rumus-rumus atau kaidah-kaidah disampaikan dengan menggunakan kata-kata biasa yang ketika dibaca dapat langsung dipahami (Kesuma, 2007b:71). Metode penyajian formal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kaidah berupa rumus, bagan/diagram, tabel, dan gambar. Oleh karena penelitian ini bersifat deskriptif, maka hasil penelitian akan disajikan secara informal.



BAB 2 PEMBAHASAN
Bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu memiliki banyak dialek, salah satunya adalah bahasa Melayu Manado atau BMM yang dituturkan oleh masyarakat di provinsi Sulawesi utara. Sebagai dialek, BMM memperlihatkan kekhasannya dalam hal leksikon, dan juga proses morfologis, seperti afiks yang berbeda bentuk dengan BI khususnya afiks verba.
Untuk memperlihatkan seberapa jauh perbedaan antara BI dan BMM berikuta akan dideskripsikan terlebih dahulu prefiks yang terdapat pada BI.
Bentuk ber-, MeN-, ter, di, dan per adalah prefiks atau awalan dalam bahasa Indonesia (Hasan Alwi dkk, 1998). Selanjutnya, bentuk- bentuk tersebut direalisasikan dengan bentuk-bentuk turunan atau dengan bentuk alomorf tergantung bunyi awal kata dasar yang dilekati, perubahan bentuk tersebut dikenal dengan proses morfofonemik. Perhatikan  tabel di bawah ini:
No.

Bahasa Indonesia
Prefiks
Contoh
1
meN-


meŋ-
a,
i,
u,
e,
o,
k,
g,
h

mengatur,
mengikat,
mengukur, mengelakakan, mengolah,
mengacaukan
menggarap, mengharap.

me-
l,
m,
n,
ñ,
ŋ,
r,
y,
w

melatih,
memakan,
menamai,
menyatakan,
menganga,
merancang,
meyakinkan,
mewakili.

men-
d
t
j
c

mendata,
menari,
menjual,
mencuci

mem-
b
p
f

membahas,
memukul,
memfokuskan.

meñ- (s)
menyosialisasikan
menyabung

meŋe- (satu suku kata)
mengebom,
mengetik.
2
per-


pe- (r, dasar dengan suku pertama berakhir dengan bunyi /ər/)
peruncing, pekerjakan.

pel- (ajari)
pelajari

per- (selain dua kaidah di atas)
  perdalam, perpanjang, perluas, dll.
3
ber-


be- (r, dasar dengan suku pertama berakhir dengan bunyi /ər/)
beranting,
berantai,
berduri

bel- (ajar, unjur)
belajar, belunjur

ber (selain kaidah di atas)
berkemah,
berteman,
berbicara, dll.
4
ter-


te- (r)
terencana,
terebut,
terambil

ter- (jika suku pertama berakhir dengan /ər/, ada /r/ pada ter- yang muncul dan ada yang tidak
terpercaya,
tercermin,
tepercik

ter- (selain kaidah di atas)
termasuk,
terpilih,
terbawa,
terluka
5.
di-
disesuasikan, dimasukkan, dibuat

Dari tabel di atas dapat kita simpulkan bahwa, prefiks {meN-} menjadi {meŋ-} apabila diikuti oleh bentuk bentuk dasar yang berawalan bunyi /a/, /i/, /u/, /e/, /o/, /k/, /g/, dan /h/; menjadi
{me-}jika diikuti bentuk dasar berawalan bunyi /l/, /m/, /n/, /ñ/, /ŋ/, /r/, /y/, /w/; menjadi {men-} jika diikuti oleh bentuk dasar berbunyi awal /d/, /t/, /j/, /c/; menjadi {mem-} jika diikuti bentuk dasar dengan bunyi awal /b/, /p/, /f/; menjadi {meñ-} jika diikuti bentuk dasar berwalan bunyi /s/; dan menjadi {meŋe}jika bentuk dasarnya hanya terdiri dari satu suku kata.
Prefiks {per-} menjadi {pe} jika bentuk dasar yang mengikuti diawali dengan buny /r/ dan menjadi {pel-} jika ditambahkan pada bentuk dasar {ajar}, di luar kedua kaidah tersebut, prefiks {per-} tidak mengalami perubahan.
Prefiks {ber-} berubah menjadi {be-} jika diikuti oleh bentuk dasar denga bunyi awal /r/ dan dasar dengan suku awal berakhir dengan bunyi /er/; menjadi {bel-} jika diikuti dengan dasar {ajar} dan {unjur}.
Prefiks {ter} berubah menjadi {te-} jika diikuti dasar dengan bunyi awal /r/ dan suku awal berakhir dengan bunyi /er/; namun demikian, /r/ pada {ter} terkadang dapat muncul bisa juga tidak.
Terakhir ada prefiks {di-}. Prefiks ini biasanya mencul sebagai pengganti prefiks {meN-} jika kalimat aktif dipasifkan.
Untuk melihat perbedaan antara BI dan BMM coba perhatikan tabel perbandingan antara perifks BI yang dicarikan padanannya dalam BMM.

Data Afiks Verba Bahasa Indonesia dan Bahasa Melayu Manado

No.
Bahasa Indonesia
Bahasa Melayu Manado
Prefiks
Contoh
Prefiks
Contoh
1
meN-




meŋ-
a,
i,
u,
e,
o,
k,
g,
h

mengatur,
mengikat,
mengukur, mengelakakan, mengolah,
mengacaukan
menggarap, mengharap.

ba-
ba-
ba-

ba-
ba-
ba-
ba-

baator
baika
baukur

baolah
bakacau
bagarap
baharap

me-
l,
m,
n,
ñ,
ŋ,
r,
y,
w

melatih,
memakan,
menamai,
menyatakan,
menganga,
merancang,
meyakinkan,
mewakili.

ba-,
ba, 


ma-
ba-

ba-

balatih
bamakang


manganga
barancang

bawakil

men-
d
t
j
c

mendata,
menari,
menjual,
mencari

ba-
man-
ba-
man-

badata
manari
bajual
mancari

mem-
b
p
f

membahas,
memukul,
memfokuskan.

ba-
ba-
ba-//akang

babahas
bapukul
bafokus akang

meñ- (s)
menyosialisasikan
menyabung
ba-
many-
basosialisasi
manyabung

meŋe- (satu suku kata)
mengebom,
mengetik.
ba-
ba-
babom
baketik
2
per-




pe- (r, dasar dengan suku pertama berakhir akhir /ər/)
peruncing, pekerjakan.
se-
se-//akang
seruncing
sekerja akang

pe- (ajari)
pelajari



per- (selain dua kaidah di atas)
perdalam, perpanjang, perluas, dll.


3
ber-




be- (r, dasar dengan suku pertama berakhir /ər/)
beranting,
berantai,
berduri
ba-
ba-
ba-
baranting
barante
baduri

bel- (ajar, unjur)
belajar, belunjur
ba-
balajar

ber (selain kaidah di atas)
berkemah,
berteman,
berbicara, dll.

ba-
ba-

batamang
babicara
4
ter-




te- (r)
terencana,
terebut,
terambil
ta-
ta-
ta-
tarencana
tarebut
taambe

ter- (jika suku pertama berakhir dengan /ər/, ada /r/ pada ter- yang muncul dan ada yang tidak
terpercaya,
tercermin,
tepercik
ta-

ta-


tapercik

ter- (selain kaidah di atas)
termasuk,
terpilih,
terbawa,
terluka
ta-
ta-
ta-
ta-
tamaso
tapilih
tabaawa
taluka
5.
di-
disesuasikan, dimasukkan, dibuat
da- dase-
dasesuaikan, dasemaso

Tabel di atas,  memperlihatkan bahwa:
1.    Prefiks meN- yang menjadi meŋ- pada dasar yang diawali bunyi /i/,/u/,/e/,/o/,/k/,/g/,/h/ dalam BI menjadi ba- dalam BMM.
2.    Prefiks meN- yang menjadi me- pada dasar yang diawali bunyi /l/,/r/,/m/,/w/ dalam BI menjadi ba- dalam BMM; sementara yang diawali bunyi ŋ menjadi ma-.
3.    Prefiks meN- yang menjadi men- pada dasar yang diawali bunyi /d/ dan /j/ menjadi ba- dalam BMM sekaligus meluluhkan bunyi /t/ kedalam bunyi /n/; dalalam prefiks man-.
4.    Prefiks meN- yang menjadi mem- pada dasar yang diawali bunyi /b/,/p/,/f/ menjadi ba- dalam BMM.
5.    Prefiks meN- yang menjadi meñ- pada dasar yang diawali bunyi /s/ bisa tampil dalam bentuk ba- dan many-.
6.    Prefiks meN- yang menjadi meŋe- pada dasar yang bersuku kata satu menjadi ba- pada BMM.
7.    Prefiks per- pada BI menjadi se- pada BMM. Untuk beberapa kasus harus ditambah unsur akang di belakang kata dasar.
8.    Prefiks ber- dalam BI menjadi ba-  pada BMM.
9.    Prefiks ter- dalam BI menjadi ta- pada BMM.
10.    Prefiks di- bisa menjadi da- dan dase-

3. PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara prefiks verba BI dan BMM. Perbedaannya terdapat pada afiks {meN-} yang mengalami subtitusi menjadi
{ba-}pada BMM; perfiks {per-} menjadi {se-}; perfiks {ber-} menjadi {ba-}, prefiks {ter-} menjad {ta-}, dan prefiks {di} menjadi (da-} dan {dase}; sedangkan persamaannya terdapat pada leksikon dasar dan makna inheren yang dikandung di dalamnya.


3.2 SARAN
Penelitian ini merupakan tinjauan awal, analisis yang dilakukan baru sebatas pada padanan kata, belum dikaji secara mendalam mengenai konteks kalimat di mana prefiks pembentuk verba itu digunakan. Oleh karenanya, penelitian selanjutnya diharapkan dapat mengoreksi serta melakukan pendalaman yang lebih mendetail mengenai penggunaannya prefiks pembentuk verba dalam konteks kalimat.


DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan., Soenjono Dardjowidjojo., Hans Lapoliwa., Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chambers, J.K., Trudgill, Peter. 1990. Dialektologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Darheni. (2010). Analisis Kontrastif Klausa Pasif Bahasa Indonesia Dan Bahasa Sunda : Tinjauan Morfosintaksis dalam jurnal Sosioteknologi Edisi 19 April 2010.
Ferawati, Lilis. 2013 Analisis Kontrastif Reduplikasi Bahasa Indonesia dan Bahasa Jepang. Universitas Brawijaya.
Firmonasari 2002. Urutan Kata Bahasa Perancis dan Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Kaelan. (2009). Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: “Paradigma” Yogyakarta.
Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvati Books.
Kridalaksana, H. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Krishandini. 2011.Analisis Kontrastif Afiksasi Verba Bahasa Jawa dengan Bahasa Indonesia (Hasil Penelitian). Institut Pertanian Bogor.
Purwaningsi. 2011. Perbandingan Verba Pasif Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Universitas Sebelas Maret.
Ramlan, M. 1997. Ilmu Bahasa Indonesia Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CV Karyono.
Sarosa,, Teguh. 2005. Proses Morfofonemik Afiksasi dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Sudarno. 1992. Perbandingan Bahasa Nusantara. Jakarta: Arikha Media Cipta
Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana Press.
Sukarto, Kasno Atmo. (tt) Analisis Kontrastif Sistem Morfemis Nomina Bahasa Jawa-Indonesia dalam http://ebookbrowsee.net/download-php-file-analisis-kontrastif-sistem-morfemis-nomina-bhs-jawaindonesia-pdf-d352559027
Tarigan, Henry Guntur. 1992. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung Angkasa.   
------------------------. 1988. Pengajaran Morfologi.  Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.